LELAKI DI MASSACHUSETTS AVENUE

Ia turun di Dupont Circle tanpa membayar karcis. Sopir bis itu bersungut-sungut melihat orang asing itu berlalu begitu saja. "Bullshit!"kutuknya. Para penumpang lain yang turun bersamanya memandangnya dengan rasa iba. Ada pula yang memandang sinis.
Lelaki itu berjalan labil, menyusuri trotoar Massachusetts Avenue ke arah barat laut. Kepalanya pening. Matanya berkunang-kunang. Dari mulutnya menyeruak bau minuman keras. Ia merasakan mulutnya kering dan pahit, sementara perutnya terasa perih dan menahan lapar yang bersangatan.

Rasa jengkelnya menggelegar karena hampir semua orang yang berjalan berlawanan arah dengannya memandangnya remeh. Ia mengepalkan tangannya kepada seorang lelaki bule yang memperhatikannya dengan senyuman mengejek. Mungkin karena rasa takut, lelaki berjas itu berlari secepatnya.

Ia terus melangkah. Matanya bersinar ketika ia menemukan sebuah tong sampah di dekat sebuah tiang listrik. Di bukanya tutup tong itu. Lalu ia mengaduk-aduk isinya. Tangannya menarik beberapa potong tulang ayam berdaging sedikit. Ia mengganyang makanan sisa itu tanpa berpikir panjang. Dari gundukan sampah itu tersempul sepotong yang sudah berdebu. dan Lagi, ia memakannya.

Kini ia merasa lebih kuat. Lalu ia terus melangkah hingga akhirnya ia tiba di Islamic Center. Dari trotoar ia menatap masjid yang ada di hadapannya. Ia melihat anak-anak berlarian di pelataran masjid itu. Tampak pula sekelompok lelaki sedang bercakap-cakap di dekat pintu gerbang Pusat Islam itu, dan beberapa wanita berbusana Muslimah sedang bermain-main dengan anak-anak yang ada di pelataran.

Telah beberapa kali ia mendatangi Islamic Center itu dan memandanginya dari trotoar. Betapa ingin melangkah masuk ke Pusat Islam itu, dan kalau mungkin memasuki masjidnya. Tapi, ia merasa tidak punya nyali untuk berbuat itu. Ia merasa dirinya terlalu hina dan kotor untuk berada di tempat suci itu. Dosa-dosaku sudah terlalu banyak, pikirnya. Aku malu kepada Tuhan.

Hari telah petang. Langit kota Washington, DC masih biru meski tidak sebiru siang tadi. Angin musim panas berembus pelan, menggerahkan badan. Lelaki berkulit cokelat itu masih berdiri di pagar besi. Matanya basah dan sembab. Ia kini hampir menguasai kesadarannya sepenuhnya.

Ada bisikan lembut agar ia memasuki kompleks yang ada di hadapannya. "Masuklah. Inilah saatnya untuk mengakhiri mimpi burukmu dan mengawali hidupmu yang baru. Kamu masih punya harapan untuk meraih kebahagian. Allah Maha Pengampun. Kamu tidak terlambat untuk bertaubat. Ayo, masuklah!"

Ia merasa gamang. Masuk. Jangan. Masuk. Jangan. Masuk. Jangan. "Ah, jangan. Jangan masuk, Bung. Sudah tanggung. Kamu tukang slebor. Tukang main perempuan. Suka berjudi lagi. Kamu telah menipu ayah-ibumu di tanah air selama ini. Bagaimana Tuhan akan mengampunimu? Dosamu sudah segunung. Sudahlah. Jalani saja hidupmu seperti sekarang ini." Demikian bisikan tandingan di hatinya.

Ia ingat, dulu, tiga tahun lalu, dan sebelum itu, ia merasa cukup akrab dengan masjid, walau tidak akrab benar. Ya, di tanah airnya ia biasa melaksanakan shalat Jumat di masjid meskipun shalat-shalat lainnya di rumah. Sesekali ia menghadiri ceramah dhuha di masjid besar yang ada di kotanya. Itu dilakukannya hingga ia menamatkan SMA-nya.

Ia ikut ujian seleksi ke perguruan tinggi, tapi gagal. Ia kecewa dan terpukul. Karena orang tuanya kaya, ia minta disekolahkan ke Amerika. Orang tuanya setuju saja asal ia belajar dengan tekun di perantauan. "Sebenarnya kami khawatir, Nak. Bukan khawatir kamu gagal belajar, tapi khawatir kamu terbawa arus kehidupan buruk di sana. Di Amerika kan banyak mahasiswa kumpul kebo dengan sesamanya," kata ibunya pada waktu ia mengajukan niatnya kepada ayah-ibunya untuk studi di luar negeri itu.

"Anak kita kan sudah dewasa, Bu. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kita tidak perlu khawatir," sela ayahnya, membela anaknya yang satu-satunya itu.
"Ya, Bu. Percayalah kepada saya. Saya kan selalu ingat kepada Tuhan," katanya pula.

Maka ia pun berangkat ke negara tujuannya tanpa hambatan yang berarti. Ia memilih suatu universitas swasta di ibukota Amerika. Biaya hidup dan biaya kuliah di sana mahal memang, tapi tak menjadi soal bagi orang tuanya yang memang berada. Ia memilih jurusan Business Administration dengan harapan kelak bila ia selesai studi dan kembali ke kampung halaman, ia punya bekal pengetahuan yang dapat digunakannya untuk mengembangkan perusahaan ayahnya.

Tahun pertama adalah tahun yang paling sulit baginya. Ia belum sepenuhnya menguasai bahasa masyarakat setempat. Makanan yang asing, budaya masyarakat yang materialistis dan individualistis, juga telah menyebabkannya mengalami gegar budaya. Nyaris ia memutuskan untuk menghentikan studinya pada akhir semester pertama dan kembali ke tanah airnya. Untunglah ia mampu bertahan.
Malah, mulai tahun kedua dalam studinya, ia mulai betah tinggal di negeri orang itu.

Pergaulannya juga semakin luas. Ia mempunyai lebih banyak teman pribadi. Mungkin karena sejak tahun kedua itu ia tidak lagi tinggal di apartemen, tapi di asrama mahasiswa. Di sinilah mimpi buruknya berawal.

Di asrama itu, ia tinggal sekamar dengan seorang teman bule. Si bule itulah yang kerap mengajaknya menghadiri pesta dansa di sebuah gedung kumpulan mahasiswa. Semula ia menolak ajakan temannya itu. Ia lebih suka tidur berlama-lama di kamarnya pada akhir pekan itu. Namun, Jack terus merayunya. Ia tak bisa menolak ajakan Jack yang keempat kalinya.

Ogah-ogahan ia mengikuti Jack ke tempat pesta itu. Lalu di sana ia ditawari bir. Lagi, dengan berat hati, ia menerima tawaran itu, demi pergaulan. Seusai pesta ia melihat hampir tiap mahasiswa membawa pulang mahasiswi pasangannya, entah ke mana. Ia sendiri dan Jack pulang ke asrama.

Itu dalam pesta pertama. Dalam pesta kedua, ia mulai ikut berdansa dengan seorang mahasiswi bule dan meminum lebih banyak alkohol. Dalam pesta ketiga, ia mabuk berat hingga ia harus dipapah Jack ke asrama. Dalam pesta keempat, ia sempat digoda Chrissy, mahasiswi yang pernah mengajarinya berajojing.

"Mau datang ke kamarku sehabis pesta nanti?" tanya Chrissy. "Untuk apa?" tanyanya.
"Ya, sekedar ngobrol-ngobrol," jawab Chrissy sambil memandangnya penuh arti.
"Oke, asal jangan terlalu lama. Aku merasa lelah."
Dalam perjalanannya ke asrama Chrissy, ia bergumam, "Baru di negaramu ini aku bergaul sebebas ini."
"Oh, ya?" jawab Chrissy.
"Sungguh."
"Kamu pernah tidur dengan perempuan?"
Mestinya ia tersinggung ditanya seperti itu. Tapi, ini Amerika, di mana orang dituntut bicara blak-blakan. Ia menggelengkan kepala.
"Aku percaya, kamu masih perjaka," kata wanita bule itu seraya tersenyum centil.

Di kamar Chrissy, ia bercanda dengan wanita itu. Lalu... lalu peristiwa keparat itu terjadilah. Ia tak ingat bagaimana kejadian terkutuk itu bisa berlangsung. Tapi, seingatnya, Chrissylah yang memulainya. Keesokan harinya, ia duduk termenung di kamarnya. Jack hanya senyum-senyum dikulum melihat ulahnya. Ia menyesali perbuatannya tadi malam. Tapi, ternyata imannya sudah rapuh. Bukannya insaf, ia malah terus terseret semakin jauh dalam kemaksiatan. Ia merasa tidak tahan membiarkan begitu saja kenikmatan duniawi yang terhidang di depannya. Godaan setan terlalu kuat.

Hari demi hari berlalu. Kesehatannya perlahan menurun. Juga gairah belajarnya. Lalu nilai-nilai ujiannya pada akhir semester keempat berantakan hingga ia diberi peringatan oleh universitasnya untuk memperbaiki nilai-nilainya pada semester berikutnya. Ia gagal memperbaiki standingnya di
universitas pada semester tersebut. Ia pun di-DO.

Keluar dari universitas, ia hanya lontang-lantung tanpa tujuan yang pasti. Untuk menghibur diri ia pergi melihat-lihat beberapa tempat menarik di kota seperti Gedung Putih, Monumen Washington, Galeri Nasional, dan Gedung Capitol. Ia hampir putus asa menghadapi masa depannya. Ia merasa berdosa kepada ayah-ibunya yang setiap enam bulan sekali mengirimnya uang biaya hidup dan kuliahnya, padahal kuliahnya telah gagal total. Pernah orangtuanya itu menanyakan perkembangan studinya. Terpaksa ia berbohong dalam surat yang dikirimnya ke tanah air untuk orang-orang yang dicintainya itu.

Sementara itu kebiasaannya menenggak minuman keras semakin menjadi-jadi. Begitu juga keisengannya dengan perempuan. Lebih jauh lagi, ia mencoba-coba mengadu nasib dengan berjudi di kasino sebuah hotel. Berkali-kali dilakukannya perbuatan untung-untungan itu. Tapi, ia tak pernah menang.

Uang simpanannya mulai menipis. Untuk mempertahankan hari-hari esoknya ia bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran. Juga pernah ia bekerja sebagai pengantar pizza kepada langganan-langganan. Tapi, karena ia sering malas-malasan dan kadang-kadang mabuk sempoyongan, ia dipecat orang-orang yang mempekerjakannya. Uangnya pernah habis sebelum waktunya. Ia menelpon ayahnya minta uang lagi. Untuk kebutuhan ekstra, begitu ia berbohong. Ayahnya mengabulkan permintaannya itu. Tapi uang itu cepat pula menguap di tangannya. Sejak itu ia tak punya uang sama sekali. Bila lapar, ia mencari makanan-makanan sisa di tong sampah. Bila malam tiba, ia tidur di mana saja. Di stasiun kereta, emper toko, bangku taman, dan tempat lainnya. Ia sekali-sekali sadar dari kekalutan hidupnya. Dalam keadaan demikian, ia benar-benar menyesal dan ingin kembali ke jalan yang benar. Tapi, ia tak tahu bagaimana harus memulainya...

"Brother," seseorang menyapanya dari samping. Lelaki itu agak kaget. Serta merta ia menoleh ke arah datangnya suara itu. Di sampingnya berdiri seorang lelaki muda berewokan dan seorang wanita berkulit putih yang berjilbab.
"Anda sedang apa di sini, Brother?" tanya pria berewok itu. "Saya... saya hanya ingin melihat masjid," ujarnya. Matanya tampak masih berkaca-kaca.
"Anda Muslim?" Ia mengangguk.
"Saya salah seorang pengurus Islamic Center. Dan ini istri saya yang juga bekerja di sini. Menurut istri saya, Anda telah beberapa kali datang ke sini dan berdiri di pagar. Istri saya telah memperhatikan Anda dan menduga Anda sedang mencari seseorang. Karena itu, kami menemui Anda," ucap pria berewok itu.
"Saya... saya tidak sedang mencari siapa-siapa," ujarnya.
"Atau Anda sedang ada dalam kesulitan barangkali?" tanya wanita berkulit putih itu.

Ia termenung sejenak. Mengusap keningnya yang berkeringat. Keringat itu juga tampak mengguyupi bajunya yang sudah lusuh dan kumal.
"Ya, bolehkah kami mengetahui kesusahan Anda? Barangkali kami bisa menolong Anda," kata pria berewok yang diduganya orang Arab itu.
"Saya, oh...saya hanya ingin memasuki masjid dan melakukan shalat. Sudah lama saya meninggalkan shalat. Sudah lama saya melupakan Allah," kata lelaki berkulit coklat itu.
"Oh, begitu. Mengapa Anda tampak bingung? Ayo, masuk sajalah, Brother," pria berewok itu berkata ramah. Pandangan matanya tampak tulus.
"Tapi...tapi, saya malu menghadap Allah. Saya telah melakukan banyak dosa."
"Tidak ada dosa yang tidak akan diampuni Allah kecuali menyekutukan-Nya. Anda yakinlah, Allah akan mengampuni Anda. Ayo, masuk. Ikutilah kami."

Suami-istri itu membimbingnya masuk. Sungguh, ia merasa tak pantas memasuki tempat suci itu.
"Anda berasal dari mana, Brother?" tanya pria yang ramah itu ketika ia telah dipersilakannya duduk di sebuah ruangan.
"Indonesia," ragu-ragu ia menjawab.
"Indonesia? O, negara yang penduduk Islamnya terbanyak di dunia itu, kan?"
Ia mengiakan. Pria itu lalu memperkenalkan dirinya dan juga istrinya. Pria ramah itu bernama Hisyam Ahmad dan istrinya Hafsah. Ia sendiri memperkenalkan namanya. Malah lebih jauh lagi, diceritakannya pula pengalamannya selama berada di negeri Paman Sam dengan harapan pria asal
Syria dan istri Amerikanya itu dapat menyelematkannya dari penderitaannya.
"Masya Allah! Masya Allah!" ucap Brother Hisyam di antara kalimat-kalimat yang dituturkannya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Menangis tersedu-sedu bagai anak ingusan. Hisyam dan Hafsah memandanginya dengan rasa kasihan.
"Sudahlah, Brother. Anda belum terlambat. Percayalah, Allah akan mengampuni Anda. Asal Anda memang sungguh-sungguh bertaubat dan tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah Anda perbuat," hibur Hisyam.
Masih menutup muka, ia mengangguk-angguk.

"Sebentar lagi akan bergema adzan maghrib. Anda sebaiknya mandi dulu. Marilah nanti kita melaksanakan shalat maghrib bersama," lanjut Hisyam. "Oh, ya. Nanti akan saya sediakan satu stel pakaian bersih untuk Anda."
"Terima kasih. Terima kasih. Anda berdua baik sekali Brother Hisyam, Sister Hafsah," sahutnya.

Lelaki itu lalu mandi. Ia mengguyur sekujur tubuhnya, dari atas kepala hingga alas kaki. Seakan ingin membersihkan lumuran dosa dari dirinya, ia menggosok seluruh tubuhnya itu berkali-kali. Selesai mandi, ia merasa lebih segar. Hisyam ternyata tidak saja memberikan pakaiannya, tapi juga makanan
dan minuman. Ia menyantap hidangan itu dengan lahap di ruangan yang tadi. Di sana Hisyam menemaninya.

"Ada sebuah kamar agak kecil yang dapat Anda gunakan untuk tidur di Pusat Islam ini. Anda boleh tingal di sini sesuka Anda hingga Anda mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal lain yang layak. Tapi, jika Anda secara sukarela membantu pekerjaan kami di sini, Anda tentu boleh tinggal di sini
selama Anda mau," kata Hisyam. Tanpa ragu-ragu ia menyanggupi tawaran Hisyam.

Sayup-sayup lelaki itu mendengar adzan maghrib yang dilantunkan dari dalam masjid tanpa melalui pengeras suara. Di luar senja telah merembang. Sebentar lagi kegelapan akan menyungkup bumi. Kendaraan-kendaraan di jalan masih berseliweran. Selama dua tahun absen shalat, kini untuk pertama kalinya ia menunaikan ibadah itu bersama kaum Muslimin lainnya yang berasal dari berbagai negara. Ia merasa dadanya lebih sejuk kini. Ada rasa damai yang menyelinap ke dalam hatinya.

Setelah shalat, ia terpekur dalam masjid. Khusyuk berdoa, memohon ampun kepada Tuhan dengan air mata berlinang. Ia berjanji akan memulai hidup baru. Pelan ia berbisik, "Terima kasih, Tuhan. Engkau telah membimbingku kembali ke jalan Engkau yang lurus..."